Breaking News

Rumit Dan Tak Lekang Dari Zaman, Antara Indonesia Dan China



Seputar Aktual Nasional - Hubungan Indonesia-China yang sudah berlangsung sejak Republik Rakyat China pertama kali mengumumkan terbentuknya di tahun 1949, selalu rumit dan tidak bisa dilepaskan dari politik dalam negeri. Terlepas dari hubungan bilateral yang semakin dekat antara Jakarta dan Beijing, namun Indonesia terus memiliki sikap ambiguitas terhadap China dan telah menghindari terlihat terlalu dekat dengan Beijing. Hubungan ekonomi yang semakin erat antara Indonesia dan China—khususnya di bawah Presiden Joko Widodo—telah mendapat kecaman dari dalam negeri, dan menjelang Pilpres 2019, isu ini juga semakin dipolitisasi. 

Hubungan Jakarta-Beijing selalu rumit sejak hubungan diplomatik keduanya pertama kali didirikan pada tahun 1950, dan lebih daripada dengan negara lain, hubungan dengan China pada tingkat yang lebih rendah atau lebih besar terus mempengaruhi urusan dalam negeri, karena salah satu alasannya adalah pengaruh signifikan dari warga China-Indonesia.

Dinamika dalam negeri cenderung menjadi pendorong utama kebijakan luar negeri Indonesia, dan saat ini, baik pendapat elit maupun publik terpecah atas kebangkitan China, yang dipandang sebagai ancaman sekaligus peluang. Agen Domino

Hubungan ekonomi yang semakin erat antara Indonesia dan China—khususnya di bawah Presiden Joko Widodo—telah mendapat kecaman dari dalam negeri, dan menjelang Pilpres 2019, isu ini juga semakin dipolitisasi.

Menarik Pelajaran dari Masa Lalu

Sejak awal, Indonesia telah berpegang pada kebijakan “Satu-China” dengan ibu kotanya di Beijing—kebijakan yang dipertahankan bahkan ketika Indonesia kemudian membekukan hubungan diplomatik dengan China.

Kebijakan luar negeri Presiden Soekarno dibentuk oleh oposisi kuatnya terhadap neokolonialisme dan imperialisme yang dianggapnya mengancam Indonesia secara langsung. Dukungan terselubung yang diberikan oleh Inggris dan Amerika Serikat kepada pemberontakan regional PRRI/Permesta pada tahun 1958, hanya memperkuat persepsi ancaman bagi Soekarno.

Pembentukan Federasi Malaysia—yang meliputi wilayah British North Borneo dan Singapura—dianggap oleh Soekarno sebagai bagian dari taktik Inggris untuk mempertahankan pengaruh dan untuk mengepung Indonesia. RRC adalah salah satu dari sedikit negara yang mendukung konfrontasi Indonesia dalam melawan Federasi Malaysia yang baru dibentuk dari tahun 1963 hingga jatuhnya Soekarno.

Tentara Indonesia—yang semakin terlibat dalam politik di bawah “Demokrasi Terpimpin” Soekarno (1959-1965)—sebagian besar berserah kepada Soekarno mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri. Namun, konfrontasi melawan Malaysia—yang menguntungkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan membawa Jakarta semakin dekat dengan Beijing—sangat mengkhawatirkan kepemimpinan militer.

Persaingan yang meningkat antara Angkatan Darat dan PKI untuk menggantikan Presiden Soekarno yang sakit, mulai memuncak dengan pembunuhan beberapa jenderal senior pada tanggal 30 September 1965. Peristiwa tersebut—yang kemudian dikenal sebagai Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu)—dituduh telah dilakukan oleh PKI dengan dukungan China dalam upaya untuk mengambil inisiatif tersebut.

Dalam kudeta balasan yang terjadi selanjutnya, Presiden Soekarno dipaksa keluar dari kekuasaan oleh Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto, sementara PKI dilarang dan para pengikutnya dibunuh atau dipenjara.

RRC—yang dituduh oleh Angkatan Darat memasok senjata ke PKI—dianggap sebagai ancaman utama bagi keamanan dan stabilitas politik Indonesia. Pemerintah Orde Baru yang didominasi militer membekukan hubungan diplomatik Indonesia-China pada 30 Oktober 1967, dan mempertahankan pembekuan itu selama lebih dari dua dekade.

Posisi dan peran PKI bukan satu-satunya masalah pelik yang merusak hubungan awal antara Jakarta dan Beijing. Kehadiran orang Tionghoa Rantau di Indonesia yang cukup besar—yang telah memainkan peran penting dalam perekonomian sejak masa kolonial—sering menarik ketidakpercayaan dan kecemburuan dari masyarakat Indonesia asli.

Upaya oleh pemerintah berturut-turut di Beijing untuk memobilisasi dukungan dari Tionghoa Rantau, membuat kesetiaan mereka kepada negara tuan rumah mereka masing-masing semakin dicurigai, termasuk di Indonesia.

Sentimen anti-China tetap tinggi di antara sebagian besar penduduk asli, bahkan ketika hubungan Indonesia-China semakin dekat selama era Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1959, pemerintah Indonesia memperkenalkan Peraturan Pemerintah No. 10 (PP 10) yang melarang orang asing terlibat dalam perdagangan eceran di daerah pedesaan, yang berlaku sejak 1 Januari 1960—suatu langkah yang jelas bertujuan untuk membatasi kegiatan etnis Tionghoa di Indonesia.

Lebih drastis lagi, pada tahun 1960, komandan militer Jawa Barat melarang orang asing Tionghoa tinggal di daerah itu. Beijing mengirim kapal untuk memulangkan sekitar 102.000 etnis Tionghoa yang memutuskan untuk meninggalkan Indonesia sebagai akibat dari peraturan ini.

Selama masa Orde Baru, orang-orang keturunan Tionghoa dipaksa untuk berasimilasi sepenuhnya ke dalam budaya lokal, dan dilarang untuk secara terbuka mengekspresikan warisan China mereka. Pada saat yang sama, pemerintah Orde Baru memberikan hak ekonomi khusus kepada beberapa konglomerat etnis Tionghoa. Dengan demikian, praktik monopolistik dan kapitalisme kroni di bawah rezim Orde Baru yang semakin korup dan represif kembali memunculkan sentimen anti-China. Demonstrasi anti-Soeharto di tengah-tengah krisis keuangan Asia pada tahun 1998 ditandai oleh kerusuhan rasial anti-China di banyak wilayah Indonesia.

Namun, rangkulan pemerintah Orde Baru terhadap China tetap sangat berhati-hati. Walau para pendukung komunis di Indonesia telah dihancurkan dan komunisme telah dilarang, namun paranoia tentang kemungkinan munculnya komunisme belum sepenuhnya hilang. Ini terutama benar di kalangan komunitas intelijen dan kelompok-kelompok Islam yang terus memiliki keraguan tentang melanjutkan kembali hubungan langsung dengan China. Kelompok bisnis pribumi yang lebih kecil dan menengah, juga khawatir bahwa hubungan ekonomi yang lebih dekat dengan China sebagian besar akan menguntungkan bisnis etnis Tionghoa setempat.

Tidak ada komentar